Sebagai orang tua, kita pasti tidak rela jika terjadi saling ejek, umpat dan praktik bullying atau perundungan di sekolah anak-anak kita. Hanya saja, tanpa kita sadari, saling ejek dan bully ternyata juga menjangkiti perilaku kita sebagai orang dewasa ataupun sebagai orang tua. Bahkan hal ini bisa lebih memprihatinkan terlebih lagi di media sosial.
Jika hal ini tidak segera kita sadari bersama, tentu akan membawa kemadlaratan besar dalam kehidupan bermasyarakat kita. Ikatan sosial antar sesama anak bangsa akan tersandera. Perbedaan afiliasi partai yang diniatkan untuk mewadahi keragaman aspirasi politik, berubah menjadi pengabsahan untuk saling benci.
BACA JUGA:Akses Jalan Lintas Tengah Arah Sekayu-Lubuklinggau Lumpuh Total
Padahal, secara sadar atau tidak, kebiasaan saling ejek dan umpat ini sebenarnya sudah banyak kita rasakan dampak negatifnya. Sebagai misal, perbedaan pilihan politik, lantas memudahkan kita untuk tidak bertegur sapa. Perbedaan ras dan golongan memudahkan kita untuk saling curiga. Perbedaan pemahaman agama mendorong kita untuk saling menyalahkan. Mulai dari saling membid’ahkan hingga saling mengafirkan. Jika hal ini kita teruskan, tentu tidak baik untuk masa depan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah, Pada prinsipnya, Islam melarang umatnya untuk saling menghina dan merendahkan. Baik antar sesama Muslim ataupun dengan penganut agama lain. Dalam hubungan sesama Muslim, saling mencaci ataupun merendahkan adalah perbuatan terlarang. Perbedaan tidak lantas harus saling mengejek. Tetapi untuk saling bermusyawarah, memahami, dan saling menasihati.
Terkait hal ini, Rasulullah saw pernah bersabda bahwa derajat seseorang bisa dilihat dari kebiasaannya.
Kerendahan diri seseorang adalah ketika ia mudah merendahkan derajat orang lain. Sebaliknya, seseorang akan dinilai tinggi derajatnya jika menghormati sesama.
BACA JUGA:Kerjasama Publikasi Merupakan Keterbukaan Informasi Publik dan Penyebaran Informasi bagi Masyarakat
Menghargai pendapat dan keberadaan orang lain. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Sunan Ibni Majah karya Imam Ibnu Majah (207-275 H) yang bersumber dari sahabat Abi Hurairah.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ حَسْبَ امْرِيءٍ مِنَ الشَّرِ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ (رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه)
Artinya: "Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Cukuplah keburukan seseorang jika ia menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Karena itu, penting kiranya kita sadari bersama bahwa mengejek dan menghina adalah kebiasaan yang mesti kita hindari. Perbedaan pilihan politik, agama, ras, suku, ustadz idola, ataupun pasangan Capres-Cawapres jangan sampai menjadi penyebab untuk saling mengejek. Saling merendahkan dan apalagi mencari kesalahan-kesalahan pihak lain.
BACA JUGA:MotoGP 2024, Valentino Rossi Optimis 3 Anak Asuhnya Mampu Bersinar
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Keragaman Indonesia harus menjadi pangkal untuk saling erat bergandeng tangan. Bertukar ide dan gagasan untuk membangun kemajuan bangsa. Jika terdapat silang pendapat, maka harus diselesaikan dengan jalan yang bermartabat. Kritik sangat dibutuhkan. Namun kritik yang konstruktif, bukan kritik yang sumir dan nyiyir.
Selain itu, jika terdapat kesalahan dan kekhilafan sesama saudara Muslim, Islam mengajarkan umatnya untuk saling menasihati dan mengingatkan. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa nasihat ini harus disampaikan dengan cara yang baik dan beradab.
Jangankan antar sesama Muslim, nasihat dan dakwah kepada non-Muslim pun harus disampaikan dengan cara yang baik. Allah ta’ala berfirman: