Artinya: Apabila seorang yang berpuasa tidur sepanjang hari sedangkan ia telah berniat puasa pada malam harinya, maka puasanya sah. Demikian menurut pandangan madzhab Syafi’i, dan pandangan ini juga dianut oleh mayoritas ulama. Tetapi, menurut Abu Thayyib bin Salamah dan Abu Said Al-Ishthakhriy puasa seperti itu tidaklah sah. Sedangkan Al-Bandaniji juga meriwayatkan pandangan ini dari Ibnu Suraij. Dalil semuanya bersumber dari Al-Qur’an.
Berbeda jika ada waktu untuk tidak tidur meski hanya sedikit, maka para ulama sepakat puasanya tetap sah. Imam an-Nawawi melanjutkan (6/384):
وَاَجْمَعُوا عَلَى اَنَّهُ لَوْ اسْتَيْقَظَ لَحْظَةً مِنَ النَّهَارِ وَنَامَ بَاقِيهِ صَحَّ صَوْمُهُ
Artinya: Dan mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa apabila seorang yang berpuasa bangun sebentar dari tidur di siang hari, kemudian tidur lagi, maka sah puasanya.
Dari penjelasan di atas sangat jelas, bahwa tidur seharian ketika sedang berpuasa menurut mayoritas ulama hukumnya tetap boleh, dan puasannya juga tetap sah. Apalagi jika dikuatkan dengan dalil, ketika seseorang tidur dengan niat menghindari maksiat sepanjang hari maka tidurnya berpahala dan menjadi keharusan. Karena khawatir jika ia tidak tidur, maka justru membuka ruang utnuk maksiat.
Meski demikian, umumnya ulama berpendapat bahwa tidur seharian bagi orang yang berpuasa tidak membatalkan puasanya, dan ia juga tidak khawatir akan maksiat, maka sudah sepantasnya agar siang harinya digunakan untuk beribadah kepada Allah swt, bisa dengan membaca Al-Qur’an, bershalawat kepada Nabi Muhammad saw, beriktikaf, membaca buku, dan sebagainya.
Karena sangat disayangkan jika bulan suci Ramadhan tidak digunakan untuk memperbanyak amal ibadah dan mengejar akhirat. Apalagi ketika orang yang tidur justru meninggalkan ibadah wajib seperti shalat 5 waktu tanpa udzur, maka tidurnya menjadi haram.
Akan tetapi ketika benar-benar udzur, terlupa atau keblabasan tidur tanpa bangun sedikit pun (ngelilir) ketika masuk waktu shalat maka hukumnya dima’fu (dimaafkan). (*)