Inti artinya, sejak masa lampau gajah Palembang sudah mendukung kehidupan manusia di Sumatera Selatan.
Bukan berkonflik.
Sehingga jika ada konflik manusia dan gajah, maka kita harus dicari solusi budayanya yang pas,” ujar Vebri Al-Lintani.
Oleh sebabnya, menurut Vebri, Tim Puskass melakukan kajian dengan mencari akar konflik antara masyarakat dengan gajah.
Sekaligus melakukan kajian terkait berbagai kearifan lokal tentang gajah, sehingga dapat dijadikan solusi dalam penanganan gajah di sana.
Ketua Tim Puskass, Dedi Irwanto menambahkan, sejak awal Maret, Tim Puskass telah mengumpulkan berbagai dokumentasi soal konflik gajah dan masyarakat.
Kemudian, menurut dia, dilanjutkan dengan studi langsung ke lapangan.
Kemudian, melakukan wawancara dengan ahli dan masyarakat awam tentang gajah.
“Kita akan dokumenkan dan narasikan tentang kehidupan gajah, baik secara lintasan waktu di masa lampau maupun masa kini.
Termasuk penanganan gajah dari waktu ke waktu, khususnya gajah Palembang (Sumsel), ” kata Dedi Irwanto
Muaranya, menurut Dedi, nanti akan ada buku pengetahuan tentang gajah Palembang.
Karena, lanjut dia, keberadaan buku tentang gajah terbilang masih langka, khususnya dalam khazana literasi di Sumsel.
Sehingga pengetahuan orang tentang gajah di Sumsel, menurut Dedi, dirasakan mulai menurun.
Sedangkan salah satu anggota Tim Puskass yang lain, Kemas A. Panji yang juga seorang sejarawan, berharap buku yang akan dihasilkan nanti dapat mengembalikan citra Sumsel sebagai tempat utama gajah di Pulau Sumatera.
Karena selama ini, kata Kemas A. Panji, Lampung lah yang dikenal luas sebagai daerah gajah.
Padahal, gajah di Lampung sebagian besar berasal dari Sumsel, terutama Air Sugihan sekitarnya.