Alumni Magister UKB Palembang Tolak Kuliah Ulang, Ancam Tempuh Jalur Hukum

Universitas Kader Bangsa Palembang--
KORANHARIANMUBA.COM– Keputusan Universitas Kader Bangsa (UKB) Palembang untuk membatalkan ijazah 122 alumni Magister Kesehatan Masyarakat angkatan 2019 dan 2020 menuai penolakan keras.
Kebijakan tersebut bahkan dinilai menyudutkan alumni sebagai korban, bukan pelaku kesalahan sistem akademik.
Rabu 18 Juni 2025, sejumlah alumni secara tegas menolak tawaran pihak kampus untuk mengulang perkuliahan secara gratis selama enam bulan.
Menurut mereka, skema tersebut bukanlah solusi, melainkan justru berpotensi melahirkan persoalan baru di kemudian hari.
BACA JUGA:Kejati Sumsel Turun ke Pasar Cinde, Bongkar Karut-Marut Proyek Mangkrak Rp330 Miliar
BACA JUGA:Todong Senpi Rakitan karena Utang, Pria di OKI Diciduk Polisi
"Diminta kuliah lagi kami sangat menolak, karena sistem yang disampaikan sangat tidak masuk akal. Bagaimana ceritanya enam bulan kuliah bisa langsung dapat ijazah? Bukankah itu justru bisa menimbulkan masalah lagi di masa depan?" tegas AM, salah satu alumni yang kini telah menggunakan gelar magisternya untuk keperluan akademik dan kenaikan pangkat.
AM menambahkan, jika ijazah yang telah dikeluarkan dan digunakan selama ini resmi dibatalkan, maka pihaknya siap menempuh jalur hukum melalui kuasa hukum dari LBH Bima Sakti.
"Kami akan lapor hingga ke Presiden dan bila perlu ke pengacara Hotman Paris. Ini bukan hanya soal legalitas ijazah, tapi juga soal harga diri dan keadilan," ungkapnya.
Ia menjelaskan, sebelumnya pada 19 Oktober 2024 lalu, pihak kampus menggelar pertemuan daring via Zoom dengan para alumni.
Dalam pertemuan tersebut, Rektor UKB Fika Minata Wathan menyampaikan rencana pembatalan ijazah berdasarkan hasil pemeriksaan Kementerian Pendidikan dan LLDIKTI Wilayah II.
Namun, para alumni menyayangkan karena tidak ada bukti tertulis atau dokumen resmi yang diberikan mengenai alasan ataupun dasar hukum pembatalan tersebut.
"Kami kuliah dengan sistem daring dan luring, ikut UTS, UAS, bimbingan, penelitian, bahkan wisuda. Semua kami jalani sesuai aturan. Jadi kalau ada pelanggaran, itu tanggung jawab internal UKB, bukan kami sebagai mahasiswa," tegasnya.
Menurut AM, jika memang dalam pemeriksaan ditemukan ada pelanggaran, maka seharusnya yang bertanggung jawab adalah pihak pengelola kampus, bukan seluruh alumni yang telah menyelesaikan studi dengan benar.
"Kalau ada satu dua orang yang tak ikut proses belajar mengajar, silakan periksa secara personal. Tapi jangan generalisir semua alumni," ucapnya.
Senada disampaikan oleh SM, alumni lainnya. Ia menyoroti perubahan status di laman PDDIKTI yang awalnya “lulus” kini berubah menjadi “mahasiswa aktif”. Hal itu dilakukan sepihak oleh kampus tanpa pemberitahuan resmi, SK, atau berita acara hasil pemeriksaan.
“Kami sudah bersurat ke UKB dan LLDIKTI tapi tidak ada tanggapan. Kami bingung, ini semua dilakukan diam-diam, tanpa proses komunikasi yang layak. Padahal kami sudah bayar kuliah, tesis, dan menjalani semua tahapan. Bahkan banyak dari kami sedang lanjut S3, ada yang ASN juga,” ujar SM.
Ia juga menyesalkan adanya pertemuan dengan pihak rektorat yang seolah dipolitisasi. “Ada dua alumni yang datang untuk klarifikasi, malah dijadikan perwakilan dan divideokan. Seolah itu mewakili suara kami semua, padahal tidak.”
Para alumni menilai bahwa UKB justru ingin menjadikan mereka sebagai tumbal agar status operasional kampus bisa kembali pulih.
“Kesalahan dari internal kampus, tapi kami yang jadi korban. Ini sangat merugikan. Bukan solusi, ini bentuk pengalihan tanggung jawab,” tambah SM.
Kini, para alumni berencana melanjutkan perjuangan mereka ke jalur hukum. Mereka menuntut hak atas ijazah yang sah berdasarkan proses akademik yang telah dijalani, serta meminta pertanggungjawaban dari UKB atas kerugian moral, material, dan akademik yang ditimbulkan.(*)