Biografi Ernest Douwes Dekker, Sang Multitalenta Pejuang Kemerdekaan Indonesia

--

KORANHARIANMUBA.COM- Ernest François Eugène Douwes Dekker, atau yang lebih dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi setelah memeluk agama Islam, adalah figur sentral dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, dari ayah seorang administrator perkebunan keturunan Belanda dan ibu seorang wanita Jawa, Douwes Dekker tumbuh dalam lingkungan multikultural yang kelak membentuk pandangan dan perjuangannya.


--

Ia adalah sosok yang kompleks, seorang jurnalis ulung, penulis produktif, politikus gigih, aktivis revolusioner, dan bahkan seorang ahli agronomi. Keberaniannya menentang kolonialisme Belanda dan visinya tentang persatuan bangsa Indonesia menjadikannya salah satu pionir kemerdekaan.

BACA JUGA: Ki Hajar Dewantara, Pelopor dan Bapak Pendidikan Nasional Indonesia

BACA JUGA:Menjelajahi Lima Permata Keindahan Alam Sumatera Selatan

Masa kecil Douwes Dekker diwarnai dengan pergaulan bersama anak-anak pribumi, yang menumbuhkan rasa empatinya terhadap kondisi sosial yang tidak adil akibat penjajahan.

Pendidikan formalnya dimulai di sekolah dasar Belanda (ELS) di Pasuruan, kemudian dilanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya. Di HBS, ia menunjukkan kecerdasan dan ketertarikan yang besar pada ilmu pengetahuan dan isu-isu sosial.

Setelah lulus dari HBS, Douwes Dekker melanjutkan studinya di bidang kimia di Universitas Zürich, Swiss. Pengalaman di Eropa membuka wawasannya tentang berbagai ideologi politik dan gerakan nasionalis yang berkembang pesat saat itu.

BACA JUGA:Mengenal RA Kartini Pionir Emansipasi Perempuan Nusantara

BACA JUGA:Mengenal Kayu Gaharu, 'Emas Hitam' Beraroma Surgawi dari Hutan Tropis

Ia terpapar pada pemikiran-pemikiran tentang kemerdekaan, kesetaraan, dan persatuan bangsa, yang semakin memperkuat keyakinannya akan perlunya perubahan di Hindia Belanda.

Sekembalinya ke Hindia Belanda, Douwes Dekker memulai kariernya sebagai jurnalis. Ia bekerja di berbagai surat kabar, termasuk Bataviaasch Nieuwsblad dan De Locomotief.

Melalui tulisannya yang tajam dan kritis, ia tanpa henti mengecam praktik-praktik kolonialisme, ketidakadilan sosial, dan diskriminasi rasial yang dialami oleh masyarakat pribumi. Artikel-artikelnya membangkitkan kesadaran nasional dan menginspirasi banyak orang untuk berani menyuarakan aspirasi kemerdekaan.


--

Selain menulis, Douwes Dekker juga aktif dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Ia menyadari bahwa perjuangan melawan kolonialisme memerlukan persatuan dan organisasi yang kuat dari seluruh elemen masyarakat.

BACA JUGA:Rahasia Kesehatan Tersembunyi dalam Nangka: Dari Jantung Sehat hingga Kulit Bercahaya

BACA JUGA:Candi Borobudur, Mahakarya Budaya dan Spiritual di Jantung Pulau Jawa

Titik balik penting dalam perjuangan Douwes Dekker adalah pendirian Indische Partij pada tahun 1912 bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Partai ini menjadi organisasi politik pertama di Hindia Belanda yang secara tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Dengan semboyan "Indië voor Indiërs" (Hindia untuk Orang Hindia), Indische Partij berhasil menarik dukungan dari berbagai lapisan masyarakat, baik pribumi maupun peranakan.

Keberanian Indische Partij dalam menyuarakan kemerdekaan membuat pemerintah kolonial Belanda merasa terancam. Pada tahun 1913, Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat ditangkap dan diasingkan ke Belanda.


--

Peristiwa ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai" dan justru semakin membakar semangat nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia.

Meskipun berada dalam pengasingan, Douwes Dekker tidak berhenti berjuang. Di Belanda, ia terus menulis dan menyebarkan gagasan-gagasan tentang kemerdekaan Indonesia. Ia menjalin kontak dengan berbagai organisasi internasional dan tokoh-tokoh politik Eropa untuk mendapatkan dukungan bagi perjuangan bangsanya.

Selama Perang Dunia I, Douwes Dekker terlibat dalam upaya untuk membebaskan tawanan perang Indonesia yang direkrut oleh tentara Belanda.

Ia juga mendirikan Indisch Verbond, sebuah organisasi yang bertujuan untuk mempersatukan orang-orang Indonesia di Belanda dalam perjuangan kemerdekaan.


--

Setelah berakhirnya Perang Dunia I, Douwes Dekker diizinkan kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1919. Sekembalinya, ia tidak lagi terlalu aktif dalam politik praktis, namun ia mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan.

Ia mendirikan sekolah-sekolah yang berorientasi pada pendidikan nasional dan menanamkan rasa cinta tanah air serta semangat kemandirian pada generasi muda. Salah satu kontribusi pentingnya adalah mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung, sebuah lembaga pendidikan yang melahirkan banyak tokoh pergerakan kemerdekaan di kemudian hari.

Selain di bidang pendidikan, Douwes Dekker juga menunjukkan minat dan keahlian di bidang pertanian. Ia melakukan penelitian dan memberikan kontribusi dalam pengembangan perkebunan di Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Douwes Dekker kembali ditangkap karena aktivitasnya di masa lalu. Ia dipenjara dan mengalami berbagai kesulitan. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, ia mengganti namanya menjadi Danudirja Setiabudi sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya Indonesia dan menunjukkan identitas nasionalnya yang kuat.

Setelah kemerdekaan, Danudirja Setiabudi masih memberikan kontribusi pemikiran bagi bangsa Indonesia. Ia meninggal dunia di Bandung pada tanggal 28 Agustus 1950 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Ernest Douwes Dekker/Danudirja Setiabudi adalah sosok pahlawan nasional yang jasanya sangat besar bagi kemerdekaan Indonesia. Keberaniannya, keteguhan prinsipnya, dan visinya tentang persatuan bangsa telah menginspirasi banyak pejuang kemerdekaan lainnya.

Ia adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan semangat nasionalisme yang membara.

Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada Ernest Douwes Dekker pada tanggal 6 November 1961.

Namanya diabadikan dalam berbagai nama jalan, gedung, dan lembaga pendidikan di Indonesia sebagai bentuk penghormatan atas kontribusinya yang tak ternilai bagi bangsa dan negara.

Douwes Dekker bukan hanya seorang pejuang kemerdekaan, tetapi juga seorang intelektual dan humanis yang peduli terhadap nasib bangsanya. Warisannya terus hidup dan relevan bagi generasi Indonesia saat ini dalam membangun bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.(*)

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan