Grebeg Syawal, Tradisi Unik Setelah Lebaran Idul Fitri di Indonesia

--
KORANHARIANMUBA.COM- Lebaran atau Idul Fitri tidak hanya tentang mudik dan silaturahmi, tetapi juga dirayakan dengan berbagai tradisi unik di Indonesia. Salah satunya adalah Grebeg Syawal, sebuah acara budaya yang digelar setelah Hari Raya Idul Fitri sebagai bentuk syukur dan kebersamaan. Simak ulasan lengkap tentang tradisi ini, mulai dari sejarah, makna, hingga lokasi pelaksanaannya.
Grebeg Syawal adalah sebuah upacara adat yang diselenggarakan oleh keraton atau masyarakat Jawa sebagai penutup rangkaian perayaan Idul Fitri. Kata "Grebeg" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "mengikuti" atau "keramaian", sementara "Syawal" merujuk pada bulan Syawal dalam kalender Hijriyah.
Tradisi ini biasanya ditandai dengan arak-arakan gunungan (tumpukan makanan dan hasil bumi) yang dibagikan kepada masyarakat sebagai simbol berkah dan rasa syukur.
--
Asal-Usul Grebeg Syawal
Grebeg Syawal bermula dari tradisi Keraton Yogyakarta dan Surakarta pada masa Kesultanan Mataram Islam. Upacara ini diadakan sebagai bentuk syukur atas berakhirnya bulan Ramadan dan sebagai sarana silaturahmi antara raja (sultan) dengan rakyatnya.
Grebek Syawal menjadi Simbol Rasa Syukur – Gunungan yang dibagikan melambangkan rezeki dari Tuhan yang harus dibagi kepada sesama.
Tradisi ini juga menjadi Pemersatu Masyarakat – Tradisi ini mengajarkan kebersamaan dan gotong royong.
Pelaksanaan Grebeg Syawal juga jadi langkah Pelestarian Budaya – Grebeg Syawal menjadi salah satu cara melestarikan warisan leluhur di tengah modernisasi.
Grebeg Syawal memiliki rangkaian acara yang khas, antara lain:
Gunungan terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayuran, dan jajanan tradisional yang disusun menyerupai kerucut. Ada dua jenis gunungan:
- Gunungan Kakung (laki-laki) – Berbentuk lancip, melambangkan maskulinitas.
- Gunungan Putri (perempuan) – Berbentuk lebih bulat, melambangkan femininitas.
--