Illegal Drilling dan Illegal Refinery di Sumsel Meningkat Drastis

Diskusi Publik, Suasana Diskusi publik di Jakarta yang membahas sengkarut illegal driling dan illegal refinery (foto ist)--

KORANHARIANMUBA.COM - Permasalahan tambang minyak ilegal di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), tak hanya sekadar obrolan lokal.

Tapi jadi materi bahasan dalam diskusi publik “Sengkarut Illegal Drilling dan Illegal Refinery” yang diadakan oleh komunitas ‘Suara Netijen +62’.

Materi diskusi merujuk data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel.

Menunjukkan praktik illegal drilling meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir, terutama di Provinsi Sumsel.

BACA JUGA:Polsek Keluang Berhasil Bekuk Pelaku Penyebab Kebakaran Sumur Minyak Ilegal

BACA JUGA:Pemkab Muba Apresiasi Kepedulian Sosial dan Lingkungan PT Ghutrie Pecconina Indonesia

Saat ini terdapat sekitar 13.824  sumur minyak ilegal di seluruh Indonesia, dan 10.000 di antaranya berada di Provinsi Sumsel.

Akibatnya, diperkirakan negara mengalami kerugian sebesar Rp7,02 triliun setiap tahunnya. Sedangkan kerusakan lingkungan capai Rp4,87 triliun.

Ekonom Prof Anthony Budiawan, memaparkan tambang ilegal berdampak signifikan terhadap ekonomi, merugikan negara.

“Sekitar 10.000 sumur tambang ilegal memproduksi sekitar 25.000 barel per hari, setara dengan sekitar 5 persen dari pendapatan nasional sektor tambang,” ucapnya, dalam diskusidi Resto Muse Makassar, Jakarta Selatan, Kamis lalu (14/11).

Prof Anthony memandang, setiap bisnis ilegal yang berpeluang menyerap keuntungan besar akan menjadi makanan pembisnis hingga oknum penegak hukum.

Dia menyoroti kinerja satuan tugas (satgas) yang dianggap kurang efektif, dan malah cenderung melindungi praktik-praktik ilegal daripada menindak. 

"Ini seolah-olah dibiarkan, berarti ’kan ada motif ekonomi yang juga dinikmati oleh mereka yang membiarkan, ‘kan gitu. Diduga ke situ.

Kenapa tambang ilegal jadi bisa begitu banyak. Nah, di situ juga diduga ada setoran-setoran, berjenjang," kata Prof Anthony, Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan